Selasa, 17 Mei 2011

Obon dan Bon Odori

Obon
Obon (お盆) adalah serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan seputar tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō (kalender lunisolar). Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Buddha Jepang, tapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Buddha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Buddha yang disebut Urabon.

Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya.
Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jizōbon yang dilakukan seusai perayaan Obon.

Asal-usul
Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Ullambana Sutra, dan lidah orang Jepang menyebutnya Urabon (盂蘭盆, Urabon), tapi kemudian yang diambil hanya aksara Kanji terakhirnya saja (盆, bon, nampan) ditambah awalan honorifik huruf “O.”

Sutra tersebut menceritakan tentang seorang biksu bernama Mokuren (Mogallana), yang dalam pertapaannya ia melihat ibunya menderita kelaparan di neraka, di mana setiap makanan yg disentuhnya selalu terbakar api. Mokuren lalu memohon pada Shakyamuni Buddha untuk menyelamatkan ibunya dari nasib buruk terbeut. Shakyamuni memerintahkan Mokuren agar dosa-dosa ibunya di masa lalu terampunkan, dia harus membuat persembahan berupa makanan yg terbuat dari bahan-bahan dari darat dan laut kepada kawan-kawan biksunya pada hari terakhir pertapaan mereka (yang berlangsung selama 90 hari dan berakhir pada pertengahan bulan Juli). Setelah memenuhi perintah dari Shakyamuni, Mokuren menari penuh kegembiraan saat ibunya dan 7 generasi nenek moyangnya dibebaskan dari semua siksaan. Tarian inilah yg kemudian diadopsi menjadi tarian Bon Odori.

Kisah ini perlahan berkembang menjadi festival peringatan untuk nenek moyang, dan mengambil wujud yg bermacam-macam di negara-negara yg memiliki banyak penganut Buddha Mahayana, terutama di China, Korea, Jepang dan Vietnam. Festival Obon di Jepang sudah dilaksanakan secara tahunan sejak tahun 657 M. Dalam sekte Jodo Shinshu (salah satu dari sekte aliran kepercayaan di Jepang), festival ini dikenal dengan nama Kangi-E.

Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu, Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang semasa perayaan Obon.

Asal-usul tradisi Obon di Jepang tidak diketahui secara pasti. Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke-8.

Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun.

Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon.

Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari 1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa dilangsungkan pada tanggal:
1. bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Tempō
2. 15 Juli menurut kalender Gregorian
3. 15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan dari kalender Tempō).

Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Prefektur Yamanashi dan Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō.

Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender Gregorian.

Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Agustus.

Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus.

Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha.

Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus.

Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang (Shūsen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory over Japan Day).

Tradisi yang umum
Tradisi dalam merayakan Obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya, tapi ada beberapa tradisi yang umumnya dilakukan orang di seluruh Jepang.

Urut-urutan ritual
Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut Mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.

Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.

Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api yang disebut Okuribi.

Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut Bon Odori (盆踊り, Bon Odori, tari Obon) dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka.

Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri) yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut malam.

Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil saja dan penyelenggaranya sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.

Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut Yagura untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering mengundang pasar kaget untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan Obon.

Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.

Hatsu-obon dan Niibon
Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru pertama kali dialami oleh arwah orang meninggal yang baru saja peringatan 49 harinya selesai diupacarakan. Perlakuan khusus diberikan untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam bentuk pembacaan doa yang lebih banyak.

Tradisi Hatsu-obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di daerah tertentu, orang yang tinggal di rumah yang baru saja mengalami kematian biasanya memasang lampion berwarna putih di depan pintu masuk rumah dan di makam.

Tradisi di berbagai daerah
Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan Obon.

* Kendaraan dari terong dan ketimun
Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan yang disebut Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api atau potongan sumpit sekali pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi “sapi” sedangkan ketimun menjadi “kuda” yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu datang dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur bisa cepat sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa berjalan pelan dengan maksud agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah cepat-cepat pulang.

* Mendoakan hantu lapar
Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha untuk menolong Gaki (hantu kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar yang disebut Gakidana dan mendoakan arwah orang yang meninggal di pinggir jalan.

* Lampion Obon
Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang disebut Bon Chochin dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan rumah yang dulu pernah ditinggalinya. Bon Chochin terbuat dari washi dengan kaki penyangga dari kayu.

* Melarung lampion
Beberapa daerah memiliki tradisi Tōrōnagashi berupa pelarungan lampion dari washi di sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk kembali ke alam sana. Ada daerah yang mempunyai tradisi Shōrōnagashi yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion sebelum dilarung di sungai.

Liburan Obon
Liburan tidak resmi di Jepang sebelum dan sesudah hari raya Obon disebut liburan Obon (Obonyasumi) yang lamanya tergantung pada keputusan masing-masing perusahaan. Kantor-kantor dan pemilik usaha biasanya meliburkan karyawannya sebelum dan sesudah tanggal 15 Agustus selama 3 sampai 5 hari.

*souce:
http://www.indoanime.net/forum/index.php?showtopic=5623&st=0&p=181466

Tidak ada komentar:

Posting Komentar