Obon
Obon (お盆) adalah serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk  merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan seputar tanggal 15  Juli menurut kalender Tempō (kalender lunisolar). Pada umumnya, Obon  dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Buddha Jepang, tapi  banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan  dengan dogma agama Buddha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini  merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang  dengan upacara agama Buddha yang disebut Urabon.
Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya.
Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jizōbon yang dilakukan seusai perayaan Obon.
Asal-usul
Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Ullambana  Sutra, dan lidah orang Jepang menyebutnya Urabon (盂蘭盆, Urabon), tapi  kemudian yang diambil hanya aksara Kanji terakhirnya saja (盆, bon,  nampan) ditambah awalan honorifik huruf “O.”

Sutra tersebut menceritakan tentang seorang biksu bernama Mokuren  (Mogallana), yang dalam pertapaannya ia melihat ibunya menderita  kelaparan di neraka, di mana setiap makanan yg disentuhnya selalu  terbakar api. Mokuren lalu memohon pada Shakyamuni Buddha untuk  menyelamatkan ibunya dari nasib buruk terbeut. Shakyamuni memerintahkan  Mokuren agar dosa-dosa ibunya di masa lalu terampunkan, dia harus  membuat persembahan berupa makanan yg terbuat dari bahan-bahan dari  darat dan laut kepada kawan-kawan biksunya pada hari terakhir pertapaan  mereka (yang berlangsung selama 90 hari dan berakhir pada pertengahan  bulan Juli). Setelah memenuhi perintah dari Shakyamuni, Mokuren menari  penuh kegembiraan saat ibunya dan 7 generasi nenek moyangnya dibebaskan  dari semua siksaan. Tarian inilah yg kemudian diadopsi menjadi tarian  Bon Odori.
Kisah ini perlahan berkembang menjadi festival peringatan untuk nenek  moyang, dan mengambil wujud yg bermacam-macam di negara-negara yg  memiliki banyak penganut Buddha Mahayana, terutama di China, Korea,  Jepang dan Vietnam. Festival Obon di Jepang sudah dilaksanakan secara  tahunan sejak tahun 657 M. Dalam sekte Jodo Shinshu (salah satu dari  sekte aliran kepercayaan di Jepang), festival ini dikenal dengan nama  Kangi-E.
Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang  persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi  istilah bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan  dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu,  Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang  datang semasa perayaan Obon.
Asal-usul tradisi Obon di Jepang tidak diketahui secara pasti.  Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di  Jepang sejak sekitar abad ke-8.
Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah  leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali  setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim  gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal  dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai  satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung  sebagai satu tahun.
Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami  (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun  Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan  perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon.
Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari  1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa  dilangsungkan pada tanggal:
1. bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Tempō
2. 15 Juli menurut kalender Gregorian
3. 15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan  Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan  dari kalender Tempō).
Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Prefektur Yamanashi dan  Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon  pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō.
Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli  menurut kalender Tempō semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang  umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender  Gregorian.
Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan  Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam  pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu  ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada  tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu  ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal  15 Agustus.
Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus  sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada  tanggal 15 Agustus.
Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang  merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang  dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak  diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu  sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan  musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha.
Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang  mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan  arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah  meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan  peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan  meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum  tanggal 15 Agustus.
Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa  Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan,  Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15  Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang  (Shūsen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory  over Japan Day).
Tradisi yang umum
Tradisi dalam merayakan Obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya,  tapi ada beberapa tradisi yang umumnya dilakukan orang di seluruh  Jepang.
Urut-urutan ritual
Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk  merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13  Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api  kecil di luar rumah yang disebut Mukaebi untuk menerangi jalan pulang  bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan  lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam  untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.
Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya,  pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah  leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha  sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi  barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.
Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api yang disebut Okuribi.
Bon Odori
Acara menari bersama yang disebut Bon Odori (盆踊り, Bon Odori, tari  Obon) dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon  Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di  lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori  meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman  kejam di neraka.
Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri)  yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan  yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut  kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena  pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari  sampai larut malam.
Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan  kuil saja dan penyelenggaranya sering tidak ada hubungan sama sekali  dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah  lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat  orang banyak berkumpul.
Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung  yang disebut Yagura untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon  Odori. Penyelenggara juga sering mengundang pasar kaget untuk  menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau  datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan  orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung  untuk merayakan Obon.
Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang  berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung  bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat  kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya  banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama  sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak  dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.
Hatsu-obon dan Niibon
Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru  pertama kali dialami oleh arwah orang meninggal yang baru saja  peringatan 49 harinya selesai diupacarakan. Perlakuan khusus diberikan  untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam bentuk pembacaan  doa yang lebih banyak.
Tradisi Hatsu-obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di daerah  tertentu, orang yang tinggal di rumah yang baru saja mengalami kematian  biasanya memasang lampion berwarna putih di depan pintu masuk rumah dan  di makam.
Tradisi di berbagai daerah
Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan Obon.
* 
Kendaraan dari terong dan ketimun
Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan  yang disebut Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api  atau potongan sumpit sekali pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan  ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi “sapi” sedangkan ketimun  menjadi “kuda” yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu datang  dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur  bisa cepat sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa  berjalan pelan dengan maksud agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah  cepat-cepat pulang.
* 
Mendoakan hantu lapar
Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha  untuk menolong Gaki (hantu kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar  yang disebut Gakidana dan mendoakan arwah orang yang meninggal di  pinggir jalan.
* 
Lampion Obon
Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang  disebut Bon Chochin dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan  rumah yang dulu pernah ditinggalinya. Bon Chochin terbuat dari washi  dengan kaki penyangga dari kayu.
* 
Melarung lampion
Beberapa daerah memiliki tradisi Tōrōnagashi berupa pelarungan  lampion dari washi di sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk  kembali ke alam sana. Ada daerah yang mempunyai tradisi Shōrōnagashi  yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion sebelum dilarung di  sungai.
Liburan Obon
Liburan tidak resmi di Jepang sebelum dan sesudah hari raya Obon  disebut liburan Obon (Obonyasumi) yang lamanya tergantung pada keputusan  masing-masing perusahaan. Kantor-kantor dan pemilik usaha biasanya  meliburkan karyawannya sebelum dan sesudah tanggal 15 Agustus selama 3  sampai 5 hari.
*souce:
http://www.indoanime.net/forum/index.php?showtopic=5623&st=0&p=181466